Friday, 20 May 2016

Teologi Oikumene

TEOLOGI OIKUMENE
(DONY CHRISTIAWAN)

Pendahuluan
            Pada akhir-akhir dasawarsa ini di Indonesia sedang marak-maraknya diadakan persekutuan-persekutan antar denominasi gereja dalam satu wadah persekutuan oikumene.  Persekutuan dalam satu wadah oikumene ini mulai menjamur di setiap kota di Indonesia.  Dengan masuknya oikumene ini ternyata ada pro dan kontra diantara orang Kristen sendiri.  Persekutuan oikumene sampai sekarang masih menjadi pembicaraan yang hangat diantara orang-orang Kristen.  Menutur kami, hal oikumene ini menarik untuk kita bahas karena di samping untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah oikumene, hal ini menarik dibahas karena oikumene masih hangat-hangatnya dibicarakan diantara kalangan orang Kristen.  Pada karya tulis kali ini, kami sebagai penulis tidak akan membahas semua ha tentang oikumene.  Kami secara spesifik hanya akan membahas tentang tiga mayam wujud oikumene, yaitu: wujud gerakan oikumene antar denominasi, wujud gerakan oikumene antar agama Kristen, dan wujud gerakan oikumene antar agama.  
Arti kata Oikumene
            Sebenarnya kata Oikumene ini berasal dari Bahasa Yunani yaitu Oikos yang berarti “rumah” dan “monos” yang berarti “satu”. Yang dimaksud dengan “rumah” adalah dunia ini, sehingga kata oikumene berarti dunia yang didiami oleh seluruh manusia. Karena itu oikumene juga dalam arti manifestasi persekutuan seluruh umat manusia yang memiliki latar belakang budaya, agama yang berbeda (majemuk).  Di masa Yunani di bawah Alexander Agung, kata oikoumene merujuk kepada seluruh bagian bumi yang didiami oleh manusia. Seringkali kata ini digunakan untuk menyebut daerah-daerah yang didiami oleh orang-orang Yunani, sementara daerah yang didiami oleh bangsa-bangsa barbar tidak terhitung sebagai oikumene.  Dalam bahasa Yunani Koine di bawah Kekaisaran Romawi dan dalam Perjanjian Baru, kata oikoumene secara harafiah berarti dunia, namun juga biasanya yang dimaksudkan adalah dunia di bawah kekuasaan Roma.  Kemudian kata oikumene ini berkembang dan digunakan oleh orang-orang Kristen.  Kata ini mempunyai arti baru, yaitu manifestasi (penampakan) persekutuan orang Kristen dalam satu tubuh antara sesama denominasi gereja yang memiliki latar belakang dogma dan theologia yang berbeda, baik di wilayah lokal, regional, nasional maupun internasional..[1]

Latar Belakang Sejarah Berdirinya Oikumene
            Sesuai dengan kesaksian Alkitab, umat Kristen sebenarnya adalah satu karena iman kepada Kristus yang satu. Gereja adalah tubuh Kristus yang kelihatan di dunia ini (Kol. 1:18, Ef. 1:23) dan Kristus adalah Kepala dari tubuh itu (Ef. 1:22, 4:15). Karena Kristus itu satu maka seharusnya gereja satu. Tetapi dalam kenyataannya gereja terpecah belah. Banyak aliran (=denominasi).  Lebih menyedihkan lagi karena satu sama lain saling "bersaing" satu sama lain secara tidak sehat. 
Pada awal abad ke-20 sejumlah pemimpin Gereja Kristen mulai menyadari bahwa perpecahan yang terjadi di dalam Gereja adalah sebuah masalah yang sangat besar.  Masalah ini menimbulkan kerinduan bagi setiap orang percaya untuk saling memperhatikan, bekerjasama, bersatu, dan lain sebagainya.  Sebagaimana sebelum meninggalkan murid-muridnya, Yesus sendiri pernah memperingatkan akan kemungkinan ini melalui doanya dalam Yohanes 17:20-21:
"Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku."
Karena itulah muncul gerakan oikumene yang tujuannya adalah menciptakan keesaan Gereja.  Gerakan ini resminya dimulai oleh sekelompok pemimpin Gereja-gereja Protestan, khususnya di dunia Barat, yang kemudian terwujud dalam bentuk Dewan Gereja-gereja se-Dunia.[2]  Dengan gerakan ini diharapkan bahwa seluruh umat Kristen di dunia dapat bekerja sama dan saling mendukung satu sama lain.
Kebangunan rohani di Eropa dan Amerika Utara sekitar tahun 1800 berhasil membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab Kristen kepada bangsa-bangsa. Perhatian umat Kristen kepada masyarakat meningkat dan muncul usaha-usaha bersama untuk memberitakan Injil dan melayani masyarakat.



Usaha-usaha itu diantaranya:
1. Usaha Bersama Orang-orang Kristen
a. Berdirinya badan-badan Zending (pekabaran Injil) dan timbulnya para Zendeling (pemberita Injil).
b. Berdirinya lembaga-lembaga Alkitab. Kebanyakan merupakan yayasan, misalnya, di Inggris (1804) dan Amerika (1810). Terjadilah peredaran dan kegiatan keliling para penjual Alkitab ke negeri-negeri jauh. Mereka ini adalah pelopor Zending.
c. Berdirinya lembaga pelayanan pemuda dan mahasiswa {Youth Movement Christian Organization disingkat YMCA, 1844).
d. Berdirinya Gerakan Pekabaran Injil se Dunia dari Amerika pimpinan D L Moody pada tahun 1866.
e. Berdirinya Organisasi Mahasisiwa se Dunia oleh John Mott.
Kegiatan badan-badan ini terbuka bagi untuk orang Kristen dari gereja apa saja. Karena itu secara tidak disengaja kegiatan ini menyatukan gereja-gereja.
3. Ikatan-ikatan Gereja-gereja se Aliran Pada Abad 19.
Tiap aliran mengadakan persatuan sendiri. Dimulai di Inggris oleh gereja Anglikan yang mengadakan pertemuan para uskup pada tahun 1867 (disebut konperensi Lambeth). Selanjutnya pertemuan itu diselenggarakan setiap 10 tahun sekali. Gereja-gereja Reformasi mendirikan hal yang sama. Tahun 1875 berdiri Persekutuan Gereja-gereja Reformasi (WARC: World Alliance of Reformed Churches). Kini GKSBS menjadi anggota WARC. Tahun 1881 berdiri persatuan gereja-gereja Metodis.
4. Akar Gerakan Oikumene
a. Gerakan zending. Gerakan ini dilakukan oleh badan-badan Zending dari Eropa dan Amerika ke seluruh daerah jajahan. Zending berarti pengutusan, zendeling berarti utusan. Badan-badan itu didirikan oleh orang-orang Kristen, tidak oleh gereja. Gerakan ini dimulai oleh William Carey dari Skotlandia pada tahun 1792 yang memberitakan Injil di India.
b. Konperensi zending sedunia. Sesudah badan-badan itu bekerja secara sendiri-sendiri di banyak negara, mereka melihat betapa agama-agama yang bukan Kristen bersatu di wilayah pelayanan mereka. Kenyataan itu mendorong badan-badan itu untuk bekerja sama. Untuk maksud itu diadakanlah Konferensi Zending se-Dunia pada tahun 1910 di Edinburg, Skotlandia. Konperensi a.l. membahas tentang kerjasama dan keesaan, dipimpin oleh John Mott.
Waktu itu zending sudah berkembang di banyak negara jajahan maupun negara-negara merdeka seperti Tiongkok, Jepang, Muangthai. Hadir 1200 orang wakil dari 159 lembaga Zending, termasuk 17 orang dari Asia dan Afrika. Waktu itu Zending menghadapi perkembangan baru di daerah pelayanan mereka. Yaitu berkembangnya nasionalisme dan gerakan kemerdekaan di daerah negara jajahan. Kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1904-1905 menyemangati negara-negara jajahan untuk memperjuangkaan kemerdekaan mereka sebab ternyata negara Barat (Rusia) dapat dikalahkan oleh negara Timur (Jepang). Tidak selamanya Timur harus kalah. Selain itu, di daerah-daerah jajahan telah berdiri gereja-gereja baru berkat kegiatan Zending.
Adapun hasil konfrensi itu antara lain:
a. Akan diselenggarakan konperensi gereja-gereja yang bersifat oikumenis dengan wakil-wakil resmi dari gereja.
b. Meneruskan misi ke seluruh dunia dengan tekad satu gereja Kristus yang tak terbagi.
c. Kerjasama antar badan-badan Zending dalam urusan-urusan praktis.
d. Gereja-gereja baru di wilayah Zending (disebut gereja pribumi) harus bersatu, memerintah diri-sendiri, mengembangkan diri-sendiri dan membiayai diri-sendiri.
Gerakan Zending dan konperensi inilah yang meletakkan dasar-dasar bagi usaha keesaan gereja-gereja.
V. PERSIAPAN PEMBENTUKAN DGD
Selama tahun 1918-1948 dilakukan persiapan pembentukan DGD yang pernah terhenti sebab terhambat oleh Perang Dunia I. Perang tsb. telah mecahkan persaudaraan Kristen, terutama umat di Jerman dan Perancis. Tokoh penting dari usaha-usaha itu ialah Nathan Soderblom dari Swedia.
Selama tahun-tahun itu terbentuklah lembaga-lembaga oikumenis baru, yakni:
1. IMC (International Missionary Council atau "Dewan Penginjilan seDunia").
2. Life and Work atau "Hidup dan Kerja", lembaga yang melakukan pelayanan sosial, kesehatan dll.
3. Faith and Order Movement atau Gerakan Iman dan Tata Gereja.
Ketiga lembaga ini bekerjasama dengan YMCA (Youth Movement Christian Association) atau Perhimpunan Gerakan Pemuda dan Mahasiswa untuk mengusahakan terwujudnya kesatuan gereja-gereja. Mereka merumuskan 4 (empat) alasan mengapa gereja harus bersatu, sbb:
a. Selama itu kita telah memisahkan antara iman dan kehidupan. Pemisahan ini salah.
b. Kita harus mengadakan kesaksian yang bulat di mana iman dan kehidupan tidak dipisahkan.
c. Kita harus bekerjasama sebab karena pengalaman pahit bersama selama perang dunia.
d. Kita harus mengusahakan persatuan umat Kristen di tengah gencarnya roh nasionalisme (kebangsaan) yang makin menghebat. William Temple mengusulkan pembentukan DGD.
Sidang-sidang life and Work dan Faith and Order menyepakati usul itu dengan pandangan sbb:
1. DGD yang akan dibentuk itu merupakan badan musyawarah.
2. DGD yang akan dibentuk itu merupakan persekutuan gereja-gereja yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.  Misalnya, Saksi Yehova tidak boleh masuk sebab menolak Yesus sebagai Tuhan.
VI. PEMBENTUKAN DGD
Tanggal 23 Agustus 1948 DGD diresmikan dengan nama World Council of Churches (disingkat WCC). Keputusan pembentukannya dengan suara bulat dalam sidang raya yang pertama pada 22 Agustus - 4 September 1948 di Amsterdam, Belanda. Sidang dihadiri 351 orang utusan gereja dan 1300 orang peninjau dari 131 gereja, 44 negara. (Dari Indonesia: HKBP, GPI, GMTT, GPM, GMIM, GKJW. Peninjau: Pdt. Probowinoto, Pdt. Oerip Hartoyo).
Hasil-hasil Sidang Raya ini adalah:                               
1. Syarat-syarat menjadi gereja yang benar :
♦ Umat Kristen sebagai teladan yang meyakinkan bagi dunia.
♦ Gereja harus berdialog dengan dunia, bukan hanya sebagai "pengeras suara".
♦ Gereja-gereja harus bekerja dan melayani kebutuhan manusia, memperjuangkan keadilan, kerukunan dan HAM.
2. Menolak komunisme.[3]
Wujud gerakan Oikumene Antar Denominasi
Wujud oikumene antar denominasi adalah suatu usaha yang dilakukan guna mewujudkan kesatuan hanya dikalangan kaum Protestan atau gereja-gereja Protestan.  Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak lahirnya gereja Protestan yang dimulai melalui reformasi gereja yang dilakukan Martin Luther pada awal ke 14 sampai sekarang, terjadi perpecahan dan hasil dari perpecahan ini menimbulkan masalah-masalah baru diantara kalangan gereja Protestan.  Masalah baru itu ialah banyaknya denominasi-denominasi gereja Protestan yang baru muncul dan berkembang.  Misalnya, Gereja Lutheran, Gereja Anglikan, Gereja Metodhis, Presbiterian, Ana Baptis, Bala Keselamatan, Pentakosta, Sidang Jemaat Allah, Kemah Injil, dan lain-lain.  Untuk mewujudkan kerinduan-kerinduan dan pemikiran-pemikiran orang-orang protestan untuk bersatu, maka orang-orang Protestan mengadakan pendekatan-pendekatan yang bersikap oikumene.  Usaha untuk mewujudkan kesatuan antar denominasi ini bukanlah suatu usaha yang mudah.  Ketika usaha itu dilakukan, banyak rintangan-rintangan yang muncul.  Rintangan-ritangan itu diantaranya sebagai berikut: 
  1. Masalah Kompromi
Di dalam sejarah pergerakan oikumene antar denominasi ini kita bisa melihat sangat jelas bahwa sebenarnya gerakan oikumene ini diprakarsai dan dan disepakati bersama oleh jemaat Tuhan sendiri.  Akan tetapi dalam sejarah perkembangannya, usaha yang positif menuju kearah kesatuan ini justru terjadi perpecahan.  Salah satu faktor penyebab terjadinya perpecahan tersebut adalah munculnya sikap “kompromi.”  Sebenarnya permulaan gerakan oikumene diperakarsai oleh para kaum injili dan badan organisasi menjunjung tinggi otoritas Alkitab sebagai Firman Tuhan.  Tetapi dengan seiring berjalannya waktu, gerakan oikumene makin jauh meninggalkan gerakan teologia yang menjadi landasan teologi gerakan ini.  Mereka mulai menempuh jalan kompromi dengan tidak menitik beratkan pada masalah teologia; asalkan ada sedikit persamaan tentang pengakuan iman, maka diterima menjadi anggota.  Jalan kompromi dengan bentuk kelonggaran ini, menimbulkan ketidak-puasan,sehingga membawa efek sebagian orang keluar dari gerakan oikumene itu.[4]
Sebagai contoh nyata perpecahan yang disebabkan oleh faktor kompromi ini dapat kita lihat pada peristiwa penting yang dialami WCC.  Sejak berdirinya WCC terjadi dua peristiwa penting.  Peristiwa yang pertama, mempunyai kaitan dengan Internasional Missionary Council yang didirikan pada tahun 1921.  Dewan ini pernah mengumpulkan badan-badan misi di dunia.  Para anggotanya termasuk dari kalangan fundamentalis, berbagai denominasi gereja dan badan misi yang bersifat independen.  Tetapi kemudian ada sebagian misi mengarah kearah pemikiran teologi Liberal, sehingga hal ini memulai timbulnya perpecahan dan mulai banyak anggota memisahkan diri dari keanggotaan Dewan Misi Se Dunia (IMC).  Dengan bergabungnya Dewan ini ke WCC, menyebabkan makin besarnya perpecahan di dalam tubuh IMC dan semakin banyak anggotanya keluar dari IMC.  Para anggota IMC yang keluar ini pada akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang lain.
Peristiwa yang kedua yaitu peristiwa diterimanya Ortodoks Rusia dan Ortodoks Timur sebagai anggota oleh Dewan Gereja Se dunia (WCC) dan inisiatif untuk mengadakan pendekatan, penyatuan dengan Gereja Roma Katolik, sehingga menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar untuk menyatukan antar denominasi.
  1. Masalah Doktrin Teologi
Munculnya pandangan-pandangan teologia baru, seperti teologi Liberal yang berkeyakinan bahwa kewibawaan Alkitab hanya kewibawaan manusiawi saja, dengan demikian terbatas dan relatif.  Bultmannisme yang berpandangan bahwa catatan tentang Yesus Kristus bersifat mitos akan melenyapkan otoritas Alkitab.[5]  Sedangkan orang-orang Neo Orthodoks berpandangan bahwa Alkitab menjadi Firman Allah, kalau Roh Kudus membawa terang dan menerapkannya pada jiwa seseorang yang membacanya.  Dengan pandangan ini, maka Neo-Orthodoks telah membuat objektifitas Alkitab sebagai Firman Allah[6]  Munculnya pandangan ”DOG Theology” (The Death Of God Theology).[7]  Pandangan ini berpendapat bahwa sesungguhnya Allah itu sudah mati, dan kami sendiri yang membunuh dan mengebumikannya.  Keberadaan universalisme yang menitikberatkan kasih Allah, pada akhirnya akan menyelamatkan seluruh umat manusia, baik yang percaya maupun yang tidak percaya.  Pandangan ini, tanpa langsung meremehkan hukum kekal dari Allah. Meremehkan keadilan dan kesucian Allah dan sebagainya.
Perbedaan pandangan teologi yang bersifat prinsipil ini, tidak mungkin untuk mereka berada di dalam satu panji.  Hal ini menjadi penghalang besar bagi kesatuan antar denominasi.
  1. Masalah Yang Lainnya
Yang dimaksud dengan penghalang lain menuju kesatuan gereja, antara lain: peraturan dan hukum yang telah ditetapkan oleh masing-masing denominasi, tidak dapat diganggu-gugat; pandangan, pendapat yang kompleks dari masing-masing denominasi; masalah ruang lingkup pelayanan, inventaris dan lain-lainnya.


Wujud Gerakan Oikumene Antar Agama Kristen
Wujud oikumene antar agama Kristen yang dimaksudkan di sini adalah usaha-usaha untuk mengadakan penjajakan, pendekatan untuk mempersatukan, merupakan keinginan kedua belah pihak.  Hal ini pernah diungkapkan oleh salah satu mantan ketua Dewan Gereja-Gereja Se Dunia (WCC), G. Bromley Oxnam, bishop Metodhis.  Dalam pidatonya, ia menyebutkan bahwa ia sedang menunggu hari yang akan menyatukan agama Kristen.  Pada waktu itu, hanya ada dua gereja saja, yaitu gereja Kristen Protestan dan Kristen Katholik.  Dan lebih lanjut ia mengatakan bahwa ia mengharapkan terjadinya kesatuan antar Protestan dan Kathoik, menjadi gereja yang esa dan kudus.  Kerinduan itu diwujudnyatakan dengan mengundang para peninjau dari gereja Katholik Roma dalam persidangan Dewan Gereja-Gereja Se Dunia pada tahun 1954 di Amerika.  Akan tetapi undangan tersebut tidak digubris pihak Katholik Roma.  Akan tetapi hal itu tidak mematahkan semangat untuk terus mengusahakan penyatuaan gereja Kristen Protestan dan gereja Kristen Katholik Roma.
Sebenarnya, usaha yang mengarah pada kesatuan ini tidak hanya dilakukan oleh pihak Kristen Protestan, usaha ini juga dilakukan oleh pihak dari gereja Katholik Roma.  Memang sebelum diadakannya konsili Vatikan II, pihak gereja Katholik Roma menunjukan sikap antipasti dan permusuhan terhadap usaha oikumene ini.  Sikap penolakan gereja Katholik Roma ini dapat kita lihat pada waktu penolakan mereka terhadap undang-undang Gereja-gereja Se Dunia pada tahun 1954.  Bukan saja menolak, bahkan secara resmi mereka mengeluarkan perintah larangan menghadiri persidangan tersebut.[8]  Akan tetapi menjelang diadakannya Konsili Vatikan II, sikap gereja Kaholik Roma mulai melunak dan terjadi perubahan sikap dalam wujud kongkrit, yaitu menerima undangan untuk menghadiri persidangan ketiga Dewan Gereja-gereja Se Dunia yang diadakan di New Delhi, India.  Di samping itu, pihak Katholik secara bergantian mengundang dari pihak gereja Kristen Protestan untuk menghadiri konsili Vatikan II pada bulan Oktober 1962 di Roma.  Dalam konsili ini, sekaligus pula diadakan pertemuan ke 21 Dewan Oikumene (The Twenty-First Oikumenical Concil).  Sikap Paulus Yohanes XXIII terhadap golongan Protestan yang menghadiri konsili Vatikan pada waktu itu sangat ramah dan menyebut orang-orang Protestan sebagai saudara yang terpisah.
Beberapa bulan setelah Konsili Vatikan II itu, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1963, Paus Yohanes XXIII meninggal dunia dan digantikan oleh Paus Paulus.  Paus Paulus sebagai penganti  Paus Yohanes XXIII meneruskan usaha Paus pendahulunya dengan mengadakan pertemuan II tentang gerakan oikumene.  Dari pertemuan itu menghasilkan beberapa hal, yaitu:
  1. Prinsip dan pelaksanaan gerakan oikumene antar Roma Katholik, Protestan, dan juga Gereja Ortodhok.
  2. Hubungan antara Roma Katholik dan orang-orang Yahudi.
  3. Deklarasi kebebasan Beragama.
Berawal dari usaha pertemuan ini, maka terjadi banyak perubahan dalam tata ibadah Roma Katholik.  Meskipun kedua belah pihak mempunyai keinginan dan telah mengadakan pendekatan, tetapi untuk mencapai sasaran, yaitu penyatuan dua agama Kristen ini bukanlah suatu hal yang mudah.  Hal ini terjadi karena diantara keduanya terdapat jurang pemisah yang cukup lebar.  Jurang pemisah itu diantaranya:
  1. Di dalam tubuh protestan, terlalu banyak denominasi dan Dewan Gereja-gereja tidak dapat mewakili seluruh Protestan yang mempunyai pandangan dan sikapnya masing-masing.
  2. Dekrit yang dikeluarkan pada tahun 1970 tentang ketidak bersalahan Paus tidak dapat diterima oleh kalangan luas kaum Protestan.
  3. Dekrit yang dikeluarkan pada Tahun 1854 bahwa Maria tidak memiliki dosa asal dan dekrit pada tahun 1950 tentang kenaikan Maria ke sorga, bagi kaum Protestan yang melandaskan doktrin pada Alkitab, sangat sulit untuk menerimanya.
  4. Perbedaan jumlah Alkitab Protestan dan Katholik
  5. Dan masih banyak hal lain yang menjadi penghalang usaha-usaha oikumene ini.
Wujud Gerakan Oikumene Antar Agama
Oikumene antar agama adalah usaha-usaha untuk menyatukan semua agama yang ada di seluruh dunia.  Ada sebagian besar teolog Kristen, khususnya para pakar teolog dari golongan Liberal mempunyai kecendrungan pemikiran yang brilian bagi mereka untuk menyatukan agama-agama, baik Kristen Protestan, Katolik, Yudaisme, Ortodoks Timur, Islam, Budha, Hindu, kepercayaan-kepercayaan agama dan lain sebagainya, menjadi satu organisasi internasional yang besar yang pada akhirnya menjadi semua wadah agama-agama yang ada di seluruh dunia. 
Para teolog Liberal yang mempunyai gagasan ini berpandangan bahwa semua agama itu baik dan sama.  Akan tetapi menurut kami usaha-usaha demikian kecil kemunginan untuk berhasil terwujud.  Usaha oikumene antar agama yang dikenal dengan istilah sinkritisme.[9]  Menurut pandangan kami penyatuan antar agama sedunia ini tidak akan terjadi.  Jikalau sebagian kelompok kecil saja yang membentuknya itu masih mungkin.  Orang yang berusaha mewujudkan hal ini biasanya akan dicap sebagai orang yang murtad terhadap agamanya.  Akan tetapi hal ini bukan berarti kita menutup kemungkinan toleransi antar umat agama tidak mungkin terwujud.  Toleransi agama bisa terwujud dengan tidak harus mempersatukan pemahaman semua agama.  Agama-agama yang ada, khususnya di negara kita, dapat hidup berdampingan secara damai; saling menghormati satu dengan yang lain.  Dengan kata lain, toleransi antar agama dapat diterima dan harus diterima oleh setiap penganut yang cinta damai yang menghormati hak asasi manusia.  Tetapi kami yakin dan percaya bahwa setiap penganut agama, pastilah sangat sulit untuk menerima toleransi di dalam imannya. 


[4]Harold Lindsell.  The Church’s Worldwide Mission.  5-6.
[5]Ibid, 7.
[6]Tafsiran Alkitab Masa Kini 3.  16-17.
[7]Paulus Daun.  Apakah DOG Theology itu?  39-41.
[8]John H. Y. Pao. The Church’s Worldwide Mission.  5-6.
[9]Sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktek berbagai aliran berpikir. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.

1 comment:

  1. bagaimana tanggapan teologi oikumene tentang eskatologi?

    ReplyDelete