Sunday, 22 May 2016

Pernikahan Kristiani: Sebuah Model untuk Masyarakat Modern

Pernikahan Kristiani: Sebuah Model untuk Masyarakat Modern
Ada 4 aspek utama dalam pernikahan dari sudut pandang teologis: 1. Covenant (perjanjian)  berkaitan dengan komitmen. 2. Grace (anugrah)  berkaitan dengan kemampuan beradaptasi. 3. Empowering (pemberdayaan)  berkaitan dengan otoritas. 4. Intimacy (keintiman relasi)  berkaitan dengan komunikasi. Tabel berikut memperbandingkan 4 aspek tersebut dari karakteristik: a. Pernikahan Tradisional. b. Pernikahan Alkitabiah (Balanced Marriage). c. Pernikahan Modern (Open Marriage). Tradisional Alkitabiah Modern Komitmen Komitmen pada lembaga Perjanjian antar pasangan Kontrak (pemenuhan diri) Pemaksaan Keterpaduan Kebebasan Kewajiban hub. seksual (untuk kesenangan pria) Hub. seksual dg. perasaan (kesenangan bersama) Hub. seksual yang egois (untuk kesenangan pribadi) Kemampuan beradaptasi Hukum Anugrah Anarki Ditetapkan (peran yang terpisah) Kreatif (peran yang dapat dipertukarkan) Tidak ditetapkan (peran yang tidak dibedakan) Kaku/resmi Dapat beradaptasi/fleksibel Semrawut Otoritas Kekuatan yang asali Memberdayakan Kekuatan memiliki Otorianisme (Laki-laki sebagai kepala) Saling tunduk (saling bergantung) Ketiadaan otoritas (tak ada kepatuhan) Berpusat pada pria Berpusat pada relasi Berpusat pada diri Komunikasi Tidak bisa diungkapkan Keintiman Keintiman palsu Keputusan (peraturan/undang-undang) Diskusi (kesepakatan) Menuntut (jalan buntu) Tidak tegas/agresif Tegas Agresif Komitmen “Pernikahan adalah sebuah komitmen” – pernyataan umum ini selalu disalahmengerti. Apakah benar pada masa kini komitmen dalam pernikahan tidak sekuat jaman dulu lagi? Jawabannya adalah ya dan tidak. Jaman dulu pasangan suami istri menganggap bahwa pernikahan adalah suatu institusi yang sakral. Masing-masing individu merasa mempunyai keterikatan dan tanggung jawab moral/loyal pada kelompok (keluarga atau komunitas) melebihi kepentingan pribadi. Namun perkembangan jaman akhirnya membawa fokus pernikahan kepada hak individu untuk kesenangan pribadi. Hal ini berarti komitmen pernikahan sebagai sebuah institusi direduksi kepada hak-hak individu untuk kesenangan dan kepentingan pribadi. Perceraian sangat jarang di jaman sistem pernikahan tradisional karena komitmen pernikahan tadi yang dipandang sebagai sebuah institusi dan perceraian secara moral dipandang sebagai satu tindakan yang benar-benar keliru. Namun pergerakan jaman menuju era tahun 60-70an di mana di Amerika perceraian meningkat begitu tajam yang menurut para ahli sosial yang telah menyelidikinya, alasan mereka bercerai adalah ketidakbahagiaan mereka dalam pernikahan. Hal ini mungkin saja terjadi karena individualisme di kalangan muda Amerika telah merajalela di mana hak dan kebebasan individu sangat ditekankan. Hak untuk memperoleh kesenangan, kebebasan melalui hak asasi manusia. Hal ini telah melampaui kekudusan pernikahan yang selama ini dipandang sebagai institusi (yang bukan pribadi). Kondisi ini disebut dengan Open Marriage (OM). Di era OM ini, komitmen selalu diarahkan untuk kesenangan dan kepentingan pribadi. Dan hal ini didukung dengan adanya indikator kesuksesan pernikahan yaitu adanya kebahagiaan masing-masing pasangan dalam pernikahan itu. Hal ini tentu sangat menyedihkan di mana komitmen sebenarnya adalah satu aspek yang sangat penting dalam pernikahan. Jaman dulu memandang dengan begitu sempit arti pernikahan sementara jaman modern memandang kesenangan pribadi dengan terlalu sederhana. Solusi di antara pandangan tersebut adalah memandang dari perspektif Alkitab yaitu Allah menciptakan manusia dalam konteks relasi. Kej. 2:18 mengisahkan bagaimana Allah memandang tidak baik Adam hidup sendirian, maka diciptakanlah Hawa yang sepadan dengan Adam sebagai penolong. Lalu Adam berkata kepada Hawa: inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku (Kej.2:23). Ini sebuah gambaran saling ketergantungan. Komitmen tidak hanya sebagai suatu institusi tapi juga untuk berelasi. Relasi itu sendiri sangat penting dan perlu tumbuh. Komitmen YHWH kepada Israel terpatri dalam Kitab Hosea yang menggambarkan suatu contoh yang indah tentang bagaimana komitmen yang memikul penderitaan, memperbaharui, mengampuni, dan membangun. Pernikahan akan kuat bila masing-masing pasangan berkomitmen kepada institusi, kepada relasi, dan kepada masing-masing individu sebagai pribadi. Kalau hanya mementingkan institusi mengakibatkan legalisme; kalau hanya mementingkan relasi mengakibatkan idealisme; kalau hanya mementingkan personalitas mengakibatkan humanisme. Pendekatan yang baik adalah dengan menganggap penting untuk membawa kebutuhan individu, relasi dan sistem sosial. Keseimbangan komitmen direfleksikan melalui hubungan seksualitas. Dalam pernikahan tradisional, hubungan seksual dipandang sebagai hak untuk memperoleh kenikmatan dari sang pria dan menjadi tugas/kewajiban yang menekan bagi sang wanita. Dalam OM hubungan seksual bertujuan untuk kepentingan pribadi, dengan menempatkan hak individu atas kesenangan pribadi. Hubungan seksual akan senantiasa hanya berfokus pada teknik-teknik hubungan seksual yang membawa kenikmatan pribadi dan secara insidentil kenikmatan untuk pasangannya. Ini bisa dikatakan bahwa seseorang menikah hanya untuk seks, dan ketika seks telah menjadi dominan maka relasi akan “merana” dan hubungan seksual yang bermakna akan sirna. Alkitab memberi respon juga terhadap hubungan seksual yang berperasaan. Firman Tuhan memberikan nasihat kenikmatan yang bermakna dan bermanfaat. Ini meliputi memberi dan menerima cinta 1Kor.7:3-4 “istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya demikian juga suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya.” Keamanan yang mempererat relasi dalam pernikahan akan dapat dirasakan bila ada atmosfir kebebasan dan kerelaan untuk belajar bersama melalui ekspresi seksual dengan cinta. Ajaran Alkitab lebih dari pada sekedar memperoleh kenikmatan seksual atau penundukan pasangan kepada pasangannya yang lain atas komitmen dalam institusi pernikahan. Alkitab mengajarkan untuk merajut keintiman dalam segala level yaitu tubuh, jiwa, dan pikiran. Konsep Alkitab satu daging menunjuk pada saling berkomitmen di hadapan Allah dengan setia kepada pasangan, relasi, dan institusi. Kemampuan Adaptasi Dalam pernikahan tradisional, ada keterpisahan peran dalam pernikahan. Peran sang suami adalah bekerja di luar rumah sementara peran istri adalah di rumah memelihara anak dan merawat rumah. Sampai pada era revolusi industri, 90% dari seluruh keluarga hidup di perkebunan-perkebunan. Maka tak heran bila keterpisahan peran dalam keluarga saat itu menjadi satu hal yang umum. Suami dan istri dua-duanya bekerja di perkebunan, dan keduanya saling berbagi dalam tanggung jawab mengasuh anak mereka. Keterpisahan peran berkembang hanya dalam keterdesakan keluarga urban, di mana kehidupan rumah tangga dan pekerjaan terbagi. Dalam tipe keluarga ini sang suami bekerja di luar rumah, meninggalkan tanggung jawab perawatan anak-anak pada istri. Kondisi ini didasarkan pada sejarah bahwa tempat laki-laki adalah dunia usaha di luar rumah sementara tempat bagi wanita adalah di rumah. Ketika para penasihat OM bereaksi menentang terhadap keterpisahan dalam sistem pernikahan tradisional, mereka melakukan pendekatan lain bahwa peran dalam pernikahan dapat dibedakan. Dalam OM berbagai tugas yang harus dikerjakan dapat dikerjakan berdasarkan sistem pertukaran sosial (social exchange system). Sistem ini berdasarkan asumsi sederhana bahwa semua relasi berkaitan dengan costs and rewards (untung dan rugi). Pernikahan akan tumbuh dengan subur ketika keuntungan melebihi biaya yang dikeluarkan dari masing-masing pasangan. Konsep pertukaran sosial ini dibentuk dengan formula: rewards – costs = profit. Contoh: sebuah pasangan dalam OM mencoba memutuskan siapa yang akan memasak untuk makan malam ini. Percakapan mungkin akan berangkat dari anjuran sang suami agar istrinya memasak, dan dengan menunjukkan bahwa kemarin ia mempunyai hari yang berat di kantor saat itu dan lelah tapi sang suami bersedia memasak. Sang istri mungkin menanggapi juga dengan menunjukkan hal yang sama bahwa ia juga mengalami hari yang berat dan melelahkan dalam pekerjaan dan dia telah masak makan malam jam 3-4 sore. Maka suami mungkin akan menganjurkan bahwa ia yang akan masak jika istrinya yang akan membereskannya, mencuci piring-piring kotor, dan membuang sampah. Poinnya di sini adalah jika pasangan tidak memiliki kemampuan menawar yang baik dan ketrampilan bernegosiasi, kehancuran akan nampak dalam relasi mereka di mana peran tidak dibedakan secara tegas. Kita menganjurkan bahwa peran dibedakan namun tidak dipisahkan. Keterpisahan berpusat pada pria dan wanita dengan tidak ada tempat bagi pertukaran. Sementara pandangan Alkitab: pembedaan peran berarti bahwa suami dan istri setuju untuk melayani antara satu dengan yang lain dengan saling mengambil tugas-tugas dalam rumah tangga. Tugas-tugas ini akan direview secara periodik dan mereka dapat berganti tugas dalam beberapa waktu. Meskipun tidak ada ayat Alkitab yang secara eksplisit mendukung soal peran-peran dalam rumah tangga, namun Alkitab mengajarkan bahwa segala sesuatu seharusnya dikerjakan dengan penuh tanggung jawab dan harmonis, dan dengan perhatian dan cinta. Memberi tugas sesuai dengan minat seseorang, ketrampilan atau kemampuan seseorang merupakan ungkapan cinta dalam mengerjakan berbagai peran dalam pernikahan, juga dengan menaruh respek pada perbedaan dan menghargai talenta unik masing-masing pasangan dalam kontribusinya di dalam jalur khusus relasi pernikahan. Selain itu, mengasuh anak juga hal yang sangat krusial. Dalam keluarga tradisional dalam kasus keluarga urban di atas, sebagian besar pengasuhan anak dilakukan oleh ibu. Ini merupakan kerugian bagi pengasuhan anak sehingga anak-anak lemah dalam hubungan relasinya dengan ayah. Dalam OM peran pengasuhan anak dan tanggung jawab mungkin dilalaikan karena masing-masing orang tua mengutamakan kesenangan pribadi dan keuntungan sendiri. Beberapa keluarga memilih keluar dari kesulitan dalam berperan mengasuh anak dengan menyerahkan anak pada pusat pengasuhan anak sehingga mereka tetap dapat mengisi kehidupan mereka dengan tujuan pribadi mereka. Dalam Alkitab diperlukan pernikahan yang seimbang di antara ibu dan bapak dalam proses mengasuh anak secara aktif. Alkitab menunjukkan dalam Efesus 6:3-4 …ayah-ayah jangan memukul anak untuk melampiaskan kemarahan tapi beri mereka petunjuk, dan koreksi yang menjadi ciri didikan kristen. Pernikahan tradisional, peran dalam keluarga diterapkan dengan kaku dan resmi. Hanya ada felksibilitas yang sedikit dalam bagaimana mereka mengungkapkannya. OM, pengharapan sirna bahwa peran keluarga benar-benar membingungkan tanpa adanya prosedur yang membawa kestabilan peran. Sementara Balanced Marriage akan fleksibel dan mudah bertukar peran pada masing-masing kesempatan yang dibutuhkan. Anggota keluarga dapat dilayani dan dikuatkan/didorong untuk melayani yang lain sebagai suatu kebersamaan dalam menyusun peran pernikahan dan keluarga. Otoritas Otoritas dalam pernikahan selama ini dipahami sebagai kepemimpinan pria. Orang Kristen maupun yang bukan kriaten sepakat dengan pandangan ini yaitu bahwa suami adalah kepala rumah tangga dimana istri diharapkan tunduk pada suaminya. Sekarang, bagaimana pun juga, keduanya memiliki perhatian pada saling menundukkan diri dan berfokus pada peran melayani sang suami yang secara langsung mencintai, melayani, dan tunduk pada istrinya seperti Kristus memberikan hidupNya bagi gerejaNya. OM menekankan pada demokrasi, kebebasan, dan hak-hak individual yang kesemuanya menentang pola tradisional. Perubahan sistem sosial dalam msyarakat menunjukkan bahwa sepasang manusia dapat bertahan dalam pernikahan jika mereka menerima sebanyak yang telah mereka beri dalam pernikahan, dengan kata lain, melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu; “Jika engkau mencakar punggungku, akau akan mencakar punggungmu”. Dalam banyak kasus pernikahan, otoritas atau kekuatan membuat keputusan dimiliki oleh pasangan yang lebih banyak memiliki uang, sex, cinta, pengasuhan, perlindungan, keamanan atau berbagai bentuk lain yang dipandang berharga bagi pasangan tersebut. Di bawah sistem perubahan sosial negosiasi adalah cara untuk bersepakat dari konflik dan membuat keputusan. Masing-masing partner dalam perspektif self centered, berusaha memaksimalkan pendapatan atas investasi yang telah ditanamkannya dalam pernikahan. Riset menunjukkan bahwa istri-istri yang bekerja mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada istri-istri yang tidak bekerja dalam relasi pernikahan. Uang dapat menggantikan kekuasaan dan meningkatkan otoritas istri dalam pernikahan. Dan ini tecermin dalam pernikahan jaman modern ini. Otoritas dalam pernikahan Kristen meliputi penundukan ganda yaitu kepada Yesus Kristus dan kepada orang lain. Istri harus tunduk pada suami yang juga harus tunduk pada Tuhan. Rantai perintah ini populer dalam lingkungan Kristen konservative yang gagal berfokus pada ajaran Perjanjian Baru tentang saling mengasihi, melayani, dan mengampuni. Ef.5:21 “…dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus….” adalah yang paling penting dalam hubungan ini. Ini merupakan landasan dari ayat-ayat yang mengikutinya (ay.25) “…kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya”. Jelas bahwa kepemimpinan bukan dimengerti sebagai hubungan hirarkis ke-rajaan suami terhadap istri tapi dimengerti sebagai pengambilan peran sebagai pelayan yang menderita. Teladan Kristus sebagai pelayan yang menderita yang memberikan hidupNya untuk mempelai perempuanNya, yaitu gereja, adalah model bagaimana suami bertindak sebagi kepala. Istri pun dipanggil untuk pemberian diri ini yaitu peran pelayan yang menderita. Saling menundukkan diri adalah pesan utama dalam Efesus 5. Komunikasi Dalam pernikahan tradisional hanya ada sedikit kebutuhan verbal untuk berkomunikasi. Suami sebagai kepala dalam keluarga memutuskan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan istri. Ketika ada konflik dan hal-hal sulit muncul, mereka selalu sepakat mengesampingkan masalah tersebut. Pernikahan dihormati lebih dari sebuah susunan institusi yang menyediakan kebutuhan ekonomi dan status sosial. Dalam OM, komunikasi dapat dikarakterisasikan sebagai rangkaian deklarasi dan permintaan di mana masing-masing pasangan membuatnya untuk pasangannya. Ketika konflik muncul, konfrontasi adalah jalan untuk mendapatkan kebutuhan masing-masing dan kekecewaan muncul. Mottonya adalah: Terbukalah (katakan) cepat apa yang kamu rasa kamu butuhkan dari pasanganmu. Membuat permintaan yang agresif: Saya ingin kebutuhan saya, tak peduli bagaimana/apa yang kau rasakan. Dalam Balanced marriage pasangan akan berkomunikasi dengan mengekspresikan dirinya dalam kepedulian dan perhatian. Ketika yang satu berbicara, yang lain mendengar. Mereka inginkan yang terbaik bagi pasangannya. Perbedaan akan disepakati dengan menghargai kebutuhan dan keinginan partenrnya. Akan ada upaya untuk mengerti sudut pandang masing-masing pasangannya dan meresponinya dengan empati. Akan ada sikap menundukkan diri dan sebuah kemauan untuk mengalah pada kebutuhan an keinginan pasangannya demi kepentingan pasangannya dan relasi mereka. Kedua pasangan bekerjasama mencari solusi melalui saling menerima, berkomitmen, mengampuni, dan melayani. Filipi 2 menjelaskan hal ini secara gamblang.

No comments:

Post a Comment